Agribisnis adalah bisnis berbasis
usaha pertanian atau
bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan
"hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok bahwa
agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain).
Agribisnis, dengan perkataan lain, adalah cara pandang ekonomi bagi
usaha penyediaan pangan. Sebagai subjek akademik, agribisnis mempelajari
strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya,
penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran.
Dalam konteks manajemen agribisnis di dalam dunia akademik, setiap elemen dalam
produksi dan distribusi pertanian dapat dijelaskan sebagai aktivitas
agribisnis. Namun istilah "agribisnis" di masyarakat umum seringkali
ditekankan pada ketergantungan berbagai sektor ini di dalam rantai produksi.[1]
Istilah
"agribisnis" diserap dari bahasa Inggris: agribusiness,
yang merupakanportmanteau dari agriculture (pertanian)
dan business (bisnis).
Dalam bahasa Indonesia dikenal
pula varian anglisismenya, agrobisnis.
Objek agribisnis dapat
berupa tumbuhan, hewan,
ataupun organisme lainnya.
Kegiatan budidaya merupakan inti (core) agribisnis, meskipun suatu
perusahaan agribisnis tidak harus melakukan sendiri kegiatan ini. Apabila
produk budidaya (hasil panen) dimanfaatkan oleh pengelola sendiri, kegiatan ini
disebut pertanian subsisten, dan merupakan kegiatan agribisnis paling primitif.
Pemanfaatan sendiri dapat berarti juga menjual atau menukar untuk memenuhi
keperluan sehari-hari.
Dalam perkembangan masa
kini agribisnis tidak hanya mencakup kepada industri makanan saja karena
pemanfaatan produk pertanian telah berkaitan erat dengan farmasi, teknologi bahan, dan
penyediaan energi.
FAO memiliki
bagian yang beroperasi penuh pada pengembangan agribisnis yang bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan industri pangan di negara berkembang.[2
keunggulan agribisnis
Terlepas
dari keadaan krisis atau tidak agribisnis memang memiliki banyak keunggulan.
Setidaknya ada 9 (sembilan) alasan mengapa agribisnis memiliki arti
penting. Pertama, aktivitas agribisnis untuk menghasilkan pangan akan
selalu ada selama manusia masih butuh makan untuk hidup.Kedua, agribisnis
merupakan usaha ekonomi yang hemat devisa karena berbasis pada sumberdaya lokal
(resource base) sehingga memiliki daya saing kuat.
Ketiga,
agribisnis memiliki kaitan usaha kedepan (forward linkage) dan ke belakang (backward
linkage) yang kuat, sehingga perkembangan budidaya pertanian otomatis akan
mendorong industri hulu dan hilir (agroindustri) termasuk sektor
jasa. Keempat, pertanian merupakan sumber pencaharian utama masyarakat dan
masih merupakan sektor penyerap tenaga kerja yang besar. Kelima, kultur
masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kultur dan tradisi agraris yang
kuat, sehingga way of life seperti ini sangat menunjang pengembangan
agribisnis.
Keenam,
ketersediaan lahan dan sumberdaya alam Indonesia yang besar dan belum
dimanfaatkan secara optimal, menjadi prasyarat dasar yang dimiliki bangsa ini
untuk mengembangkan agribisnis. Ketujuh, dalam era globalisasi sekarang
yang mampu bersaing dipasaran dunia adalah barang sekunder (agroindustri
olahan), maka agroindustri berpeluang besar untuk dikembangkan mengingat
ketersediaan bahan baku cukup besar.
Kedelapan,
kontribusi agribisnis/agroindustri dalam perekonomian nasional (PDB) sendiri
cukup besar,khususnya dalam industri non migas.Kesembilan, pada akhirnya
mengembangkan agribisnis identik dengan pemberdayaan perekonomian rakyat,
karena secara obyektif sebagian besar masyarakat yang bergerak di sektor ini
adalah masyarakat miskin yang berjumlah jutaan.
http://agribisnis.blogspot.com
PROSPEK PERKEMBANGAN AGRIBISNIS DI INDONESIA
Oleh: Ir. Untung Jaya
Tabloid
Agribisnis Dwimingguan AGRINA
Semiloka
Pengembangan Kurikulum Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas
Islam “45”Bekasi, 29 Juni 2010
Agribisnis sudah menjadi kata atau istilah atau terminologi yang
umum dan meluas di Indonesia terutama dalam 10 tahun terakhir ini. Walaupun
sebelumnya kata atau istilah agribisnis ini telah ada, tetapi tidak sepopuler
dan semeriah pada periode 1995-2004. Bahkan kata ‘agribisnis’ telah masuk dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga yang diterbitkan oleh Pusat
Pengembangan Bahasa Indonesia edisi tahun 2005, yang mendefinisikannya sebagai
usaha yang berkaitan dengan pertanian. Berarti kata ‘agribisnis’ telah secara
resmi dianggap dan diperlakukan sebagai istilah umum di Indonesia.
Sebagai langkah awal, agribisnis dapatlah didefinisikan seluruh
kegiatan dan usaha yang berkaitan langsung dengan pertanian (dalam pengertian
budidaya pertanian/farming). Sistem dan usaha agribisnis diartikan
sebagai suatu kesatuan yang utuh dari semua kegiatan dan usaha yang berkaitan
langsung dengan pertanian.
Sejak 1970, sebagian besar negara termasuk negara-negara maju
sedang giat-giatnya mengadopsi dan menikmati revolusi hijau, termasuk
Indonesia. Melalui teknologi revolusi hijau tersebut banyak negara yang
berhasil meningkatkan produksi komoditas agribisnisnya. Bahkan dalam kurun 1970
– 2000 secara global terjadi surplus produksi khususnya bahan pangan (excess
supply). Surplus produksi tersebut menyebabkan harga-harga bahan pangan
menjadi murah (di bawah harga keenomiannya), sehingga pada periode tersebut masyarakat
internasional menikmati era pangan murah.
Proses industrialisasi yang sangat intensif di berbagai negara dan
pertumbuhan penduduk dunia telah membawa perubahan yang fundamental dalam pasar
agribisnis global. Perubahan variabel permintaan pangan jauh melampaui
perubahan dalam produksi pangan dunia. Akibatnya, sejak 2000 pasar agribisnis
berada pada kondisi kelebihan permintaan (excess demand). Hal tersebut
mendorong harga-harga produk agribisnis global meningkat tajam dalam 10 tahun
terakhir. Dan diperkiraan akan terus berlangsung ke depan.
Indonesia sebagai negara agribisnis berpeluang besar untuk
memanfaatkan era pasar pangan mahal tersebut. Meskipun tidak mudah, Indonesia
masih lebih mudah mengambil manfaat dari era baru tersebut dibandingkan negara-negara
lain.
PERUBAHAN PASAR AGRIBISNIS GLOBAL
Dalam 10 tahun belakangan ini setidaknya ada empat variabel
permintaan pangan global yang berubah secara signifikan dan gagal diantisipasi
pengambil kebijakan di berbagai negara sebagai berikut.
Pertumbuhan Pendapatan
Beberapa tahun terakhir banyak negara berkembang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cepat, jauh di atas pertumbuhan negara maju. Menurut
data IMF (2007) negara berkembang yang di dalamnya terdapat 75% penduduk dunia
menikmati pertumbuhan ekonomi 6 – 9% per tahun. Contohnya, China dan India
ekonominya tumbuh rata-rata 9% per tahun dalam periode 2003 – 2007. Demikian
juga negara berkembang di Afrika menikmati pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% per
tahun.
Jika sebelumnya negara-negara berkembang tersebut tergolong rendah
konsumsi pangannya dengan peningkatan pendapatan yang relatif cepat mendorong
peningkatan konsumsi pangan yang
cukup besar. Sebagai
gambaran (FAO 2007), konsumsi pangan China dalam kurun waktu 1990 – 2006 naik
50 – 400% tergantung bahan pangan, India pada periode yang sama meningkat 20 –
70%.
Komposisi Penduduk dan Urbanisasi
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan komposisi
penduduk akibat urbanisasi yang cepat di negara-negara berkembang. Pertumbuhan
penduduk di daerah perkotaan telah melebihi pertumbuhan penduduk di daerah
pedesaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan dengan pangsa usia produktif
lebih besar, pergeseran gaya hidup, dan pertumbuhan pendapatan yang relatuf
tinggi meningkatkan konsumsi pangan. Konsumsi pangan di perkotaan negara
berkembang lebih tinggi daripada di pedesaan.
Pergeseran Selera Pangan
Akibat pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di negara berkembang,
dalam dekade terakhir ini telah menyebabkan terjadinya pergeseran selera
konsumsi pangan yang dramatis. Pergeseran selera pangan ini diperkuat pula oleh
globalisasi yang berlangsung dalam dekade terakhir ini. Pergeseran selera
pangan terjadi baik pada pangan pokok maupun pangan secara keseluruhan.
Pergeseran selera pangan di negara-negara berkembang terjadi dari
pangan pokok ke produk pangan bernilai tinggi, seperti sayuran, buah-buahan,
susu, daging, dan minyak nabati. China misalnya, konsumsi biji-bijian mengalami
penurunan sebesar 20% pada 2007 dibandingkan konsumsi 1990, sementara konsumsi
minyak nabati, daging, susu, buah, sayur, dan ikan naik dratis sebesar 240 –
350% pada periode yang sama. Peningkatan konsumsi susu dan daging tersebut akan
meningkatkan permintaan bahan baku pakan seperti jagung, kedelai, dan lainnya.
Subsititusi Energi Fosil
Makin langkanya energi fosil dan meningkatnya ancaman pemanasan
global akibat konsumsi energi fosil, telah mendorong banyak negara untuk
mengurangi dan mensubtitusi energi fosil dengan energi nabati (biofuel).
Amerika Serikat dan China mengambangkan etanol dari jagung, Brazil dan India
mengambangkan etanoil dari tebu, dan Uni Eropa lebih banyak mengembangkan
diesel dari minyak nabati. Ditargetkan sampai 2010 sekitar 5 – 15% konsumsi
energi fosil digantikan dengan biofuel.
Peningkatan produksi biofuel tersebut jelas meningkatkan
penggunaan bahan baku pangan seperti jagung, tebu, minyak nabati, dan lainnya.
Amerika Serikat sebagai produsen jagung terbesar di dunia, menggunakan sekitar
30% produksi jagungnya untuk bahan baku etanol. Demikian juga Uni Eropa,
Kanada, China dan negara lainnya menggunakan produksi bahan pangan untuk bahan
baku biofuel.
KONDISI PANGAN DUNIA
Dari sisi penawaran juga terjadi perubahan secara global. Volume
penawaran bahan pangan global tergantung pada produksi dan stok bahan pangan
global. Menurut data FAO 2007, produksi biji-bijian dalam periode 1999 – 2007
cenderung stagnan. Bahkan produksi biji-bijian dunia pada 2006 turun 2,4%
dibandingkan dengan 2005. Produksi gandum AS dan EU, produsen gandum terbesar
dunia, dalam periode 2004 – 2006 mengalami penurunan sebesar 12%. Demikian juga
produksi jagung mengalami penurunan 12 – 16% pada periode yang sama.
Sementara produksi biji-bijian China mengalami peningkatan sekitar
12% pada 2006 – 2007, demikian juga produksi beras India meningkat hampir 9%.
Namun peningkatan produksi di China dan India tidak mampu menutupi penurunan di
AS dan EU. Keadaan ini bertambah parah dengan peningkatan konsumsi pangan,
sehingga stok pangan mengalami penurunan dalam kurun 2000 – 2007. Total stok
biji-bijian dunia (FAO 2007) turun dari sekitar 650 juta ton menjadi 400 juta
ton. China yang menguasai hampir 40% stok biji-bijian dunia turun drastis, dari
310 juta ton menjadi 150 juta ton pada periode yang sama.
Sedangkan produksi bahan pangan bernilai ekonomi tinggi, seperti
sayur, buah, daging, dan susu mengalami peningkatan khususnya di negara-negara
berkembang. Dalam periode 2000 – 2006, produksi sayur, buah, daging, dan susu
di negara maju meningkat sekitar 0,2 – 0,6% per tahun. Sedangkan di negara
berkembang tumbuh lebih cepat, 2,9 – 4% per tahun. Namun pertumbuhan
konsumsinya secara global pada priode yang sama lebih besar.
Penurunan pertumbuhan produksi dan stok bahan pangan global dalam
dekade terakhir disebabakan beberapa faktor sebagai berikut.
Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim global menyebabkan anomali iklim dan pemanasan
global. Berbagai bentuk anomali iklim seperti banjir di AS, UE, China,
Australia, Indonesia dan negara lainnya dalam periode 2000 – 2007 telah merusak
dan menurunkan produksi bahan pangan global. Demikian juga kekeringan yang
terjadi di berbagai negara menyebabkan penurunan produksi bahan pangan.
Kenaikan Harga BBM Dunia
Naiknya harga BBM dunia dari sekitar US$ 50 per barrel pada 2000
menjadi sekitar US$ 100 pada 2007 mempengaruhi produksi bahan pangan dunia.
Kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan biaya pupuk, biaya transportasi, dan
biaya produksi lainnya. Proses produksi bahan pangan di negara-negara maju yang
lebih padat mekanisasi menyebabkan kenaikan biaya produksi yang relatif besar
dibandingkan negara berkembang.
Konversi Lahan
Meningkatnya harga bahan baku biofuel seperti jagung telah mendorong
terjadinya persaingan lahan antartanaman, yakni dari tanaman lain ke jagung
atau tanaman minyak nabati lainnya. Akibatnya produksi tanaman yang terkonversi
mengalami penurunan.
Selain didorong oleh kenaikan harga bahan-bahan baku biofuel, konversi lahan
pertanian juga telah lama terjadi pada hampir setiap negara. Untuk pembangunan
industri dan pemukiman membuat lahan-lahan pertanian subur di sekitar kawasan
perkotaan banyak yang mengalami konversi. Akibatnya kemampuan produksi bahan
pangan pun mengalami penurunan.
Secara keseluruhan, produksi pangan global dalam periode 2000 –
2006 memang masih meningkat sedikit. Namun peningkatan permintaan pangan global
jauh lebih tinggi daripada peningkatan produksi pangan global. Dalam periode
tersebut permintaan biji-bijian global meningkat sekitar 8%, yakni peningkatan
untuk bahan pangan dan pakan naik 4 – 7% dan peningkatan untuk biofuel naik lebih dari 25%. Sementara itu,
produksi biji-bijian hanya naik sekitar 2%. Akibatnya harga naik hampir 50%.
Kenaikan harga bahan pangan global tersebut secara teoritis akan
mendorong peningkatan produksi. Hal ini bisa saja terjadi dalam jangka panjang,
sedangkan dalam jangka pendek respon produksi sangat kecil mengingat
elastisitas produksi pangan inelastis. Peningkatan harga sebesar 10% hanya
direspon dalam bentuk peningkatan produksi sebesar 0,1 – 0,2%.
PROYEKSI PASAR AGRIBISNIS GLOBAL
Berbagai badan dan lembaga internasional telah melakukan proyeksi
tentang kondisi masa depan pangan global. Dari proyeksi tersebut ada empat
variabel penting yang menentukan situasi pangan global di masa yang akan
datang. Keempat variabel tersebut adalah pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang, urbanisasi, subsitusi energi fosil dengan biofuel, dan perubahan iklim
global.
Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang
Pertumbuhan atau peningkatan pendapatan yang akan terjadi pada 75%
penduduk dunia (penduduk negara berkembang) tersebut akan meningkatan konsumsi
pangan, mengingat sampai saat ini konsumsi pangannya masih tergolong rendah
dibandingkan negara maju. Sekalipun konsumsi biji-bijian dan umbi-umbian
cenderung turun, konsumsi buah, sayur, daging, dan susu akan meningkat tajam
baik konsumsi per kapita maupun konsumsi total.
Urbanisasi
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang yang umumnya
terjadi dan tercepat di daerah perkotaan akan mendorong terjadinya urbanisasi
yang lebih cepat. Diperkirakan pada 2030 populasi penduduk dunia di perkotaan
akan mencapai 61% dan akan meningkat mendekati 75% menjelang 2050.
Urbanisasi menyebabkan pergeseran selera pangan seperti yang telah
terjadi dalam satu dekade terakhir di negara-negara berkembang. Pergeseran
selera yang dimaksud adalah menurunnya konsumsi beras per kapita, meningkatnya
konsumsi gandum per kapita, meningkatnya konsumsi sayur, buah, daging, dan
susu, serta meningkatnya konsumsi pangan dengan berbagai atribut modern.
Substitusi Energi Fosil dengan Biofuel
Peningkatan substitusi energi fosil dengan biofuel selain didorong kelangkaan energi
fosil, juga didorong oleh upaya internasional untuk mengurangi emisi CO2 sebagai upaya mengatasi pemanasan
global sesuai amanat Protokol Kyoto. Penggunaan biofuel dipandang solusi strategis karena
selain mengurangi emisi CO2 juga
sekaligus menyerap CO2 atmosfir
melalui fotosintesis tanaman bahan baku biofuel.
Pengembangan biofuel global akan berdampak terhadap
peningkatan permintaan dan harga produk pertanian.
Perubahan Iklim Global
Diperkirakan perubahan iklim global yang semakin menguat di masa
yang akan datang. Penyebab utama perubahan iklim global tersebut adalah
kenaikan temperatur atmosfir bumi. Secara keseluruhan akibat pemanasan sampai
2020, produksi pertanian global akan turun 16% dimana penurunan produksi sampai
20% terjadi di negara berkembang dan 6% di negara maju.
Proyeksi pangan global di atas menunjukkan bahwa di masa yang akan
datang pasar pangan global akan menghadapi pergeseran dan kenaikan permintaan
yang dramatis baik karena pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang
maupun akibat substitusi energi fosil dengan biofuel.
Sedangkan dari sisi produksi, peningkatan produksi pangan global akan
menghadapi dampak negatif perubahan iklim global yang menurunkan kemampuan
planet bumi dalam memproduksi pangan.
IMPLIKASI BAGI AGRIBISNIS INDONESIA
Indonesia berpeluang menjadi pemain global dan berperan dalam
feeding the world, setidaknya dalam kelompok produk agribisnis 4 F (Food,
Feed, Fuel, dan Fiber).
Keempat produk tersebut merupakan kebutuhan dasar masyarakat dunia di mana pun
dan sampai kapan pun.
Untuk menjadikan Indonesia unggul dalam 4 F tentu tidak datang
dengan sendirinya. Bahkan jika hanya mengandalkan cara-cara dan perhatian yang
selama ini dalam pengembangan agribisnis, sulit untuk menjadi unggul dalam 4 F
tersebut. Kita memerlukan cara baru, semangat baru, dan generasi baru dalam
mengembangkan agribisnis di Indonesia ke depan. Pembangunan agribisnis harus
kita lakukan secara total dan jangan setengah hati atau sambil lalu.
Pembangunan ekonomi yang dimotori pembangunan agribisnis yang
dimaksud mencakup keempat komponen (subsistem) sebagai berikut.
Pengembangan industri-industri hulu pertanian (up-stream
agribusiness) yang menghasilkan barang-barang modalbagi pertanian, seperti
industri pembibitan, pupuk, pestisida, vaksin dan obat hewan dan ikan, serta
industri alat dan mesin pertanian, peternakan, dan perikanan.
Pembangunan pertanian (on-farm agribusiness) baik tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Pembangunan industri pengolahan hasil pertanian (down-stream
agribusiness) yang mengolah hasil-hasil pertanian menjadi produk-produk
agribisnis setengah jadi dan produk jadi, seperti industri pengolahan makanan
dan minuman, industri pakan ternak dan ikan, industri biofuel, industri biofiber, dan industri lainnya.
Pengembangan jasa untuk agribisnis (services for agribusiness)
seperti perdagangan antardaerah, internasional, penelitian dan pengembangan,
pendidikan, penyuluhan, infrastruktur, perbankan, asuransi, transportasi,
pergudangan, serta kebijakan pemerintah (fiskal, moneter, kelembagaan, peraturn
daerah, dan tata ruang.
Keempat komponen tersebut harus dilihat dan dibangun secara utuh,
sinergis, harmonis, dan integratif, dan dilakukan di seluruh daerah Indonesia
sesuai dengan potensi agribisnis lokal yang ada. Indonesia tidak mungkin unggul
dalam 4 F jika yang dikembangkan hanya pertanian, industri pengolahan, atau
industri hulu saja. Indonesia harus mengembangkan keempat komponen agribisnis
tersebut secara integratif dan dalam satu kawasan yang ekonomis.
REFERENSI
Cline WR. 2007. Global warming and agriculture: Impact estimates
by country. Washington, D.C.: Center for Global Development and Peterson
Institute for International Economics.
Cohen B. 2006. Urbanization in developing countries: Current
trends, future projections, and key challenges for sustainability. Technology
in Society 28: 63 – 80.
FAO (Food and Agriculture Organizarion of the United Nations)
berbagai publikasi.
Saragih B. 2010a. Perkembangan Mutakhir Pasar Agribisnis Global
dan Implikasinya bagi Pembangunan Agribisnis Indonesia. IPB Press. Bogor.
Saragih B. 2010b. Suara Agribisnis: Kumpulan Pemikiran Bungaran
Saragih. PT Permata Wacana Lestari (Penerbit Tabloid Agribisnis Dwimingguan
AGRINA. Jakarta.
sumber:http://agribisnisunisma.blogspot.com/2010/06/prospek-perkembangan-agribisnis-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar